Thursday, December 23, 2010

Cara berterima kasih kita kepada Ibu [rewrite]

sebenernya telat juga buat ngeposting ulang tulisan ini, tulisan ini pernah aku tulis pada tulisan edisi 29 Mei 2008 dengan judul Cara berterima kasih kita pada Ibu (coba renungkan), tapi kali ini aku tulis ulang salinan yang aku dapatkan waktu masih menuntut ilmu di perguruan ilmu Pabelan dulu. Silahkan dibaca dan renungkan sejenak semua, dan mari kita doakan ibu agar selalu dalam lindungan Allah SWT (mumpung baru beberapa hari berlalu hari ibu). 
-----------------------------------
Masa usia setahun, ibu suapkan makanan dan memandikan kita. Cara kita ucapkan terimakasih kepadannya hanyalah dengan menangis sepanjang malam.
Saat berusia 2tahun, ibu mengajar kita bermain. Kita ucapkan terima kasih dengan lari sambil terkekeh-kekeh apabila dipanggil.
Ketika berusia 3 tahun, ibu menyediakan makanan dengan penuh kasih sayang. Kita ucapkan terimakasih dengan menumpahkan makanan.
Setelah berusia 4-5 tahun, ibu belikan pensil warna dan pakaian. Kita ucapkan terima kasih dengan mencorat coret dinding dan bergolak dalam lantai kotor.
Apabila berusia 6 tahun, ibu memimpin tangan kita ke TK. Kita ucapkan terima kasih dengan menjerit,” Nggak mau! Nggak mau!!”
Ketika berusia 7 tahun, ibu belikan sebuah bola. Kita ucapkan terima kasih dengan memecahkan rumah tetangga.


Setelah berusia 8-9 tahun, ibu mengantar ke sekolah. Kita ucapkan terima kasih dengan membolos sekolah.
Apabila berusia 10-11 tahun, ibu menghabiskan masa sehari suntuk dengan kita. Kita ucapkan terima kasih dengan tidak bertegur sapa dan asyik bermain dengan kawan-kawan saja.
Menjelang usia 13 tahun, ibu suruh pakai pakaian menutup aurat. Kita ucapkan terima kasih dengan memberi tahu pakaian itu ketinggalan zaman.
Ketika berusia 18 tahun, ibu menangis ketika tahu kita diterima di Universitas. Kita ucapkan terima kasih dengan bersukaria bersama kawan-kawan.
Ketika berusia 20 tahun, ibu bertanya apakah kita ada teman istimewa, kita katakan, “...itu bukan urusan ibu,....”
Setelah berusia 25 tahun ibu bersusah payah menanggung biaya perkawinan kita, ibu menangis dan memberi tahu bahwa dia sangat sayangkan kita. Tapi kita ucapkan terima kasih dengan berpindah jauh dari sisinya.
Ketika berusia 30 tahun , ibu mnelfon memberi nasehat mengenai pejagaan bayi kita. Dengan megah berkata,....” itu dulu, sekarang zaman modern.”
Apabila berusia 40 tahun, ibu menelfon mengingatkan tentang kumpulan keluarga di kampung, kita berkata,”kami sibuk.... tak ada waktu untuk datang kesana...”
Menjelang usia 50 tahun, ibu jatuh sakit dan meminta kita mejaganya. Kita bercerita kemana-mana tentang kesibukan dan kisah-kisah Ibu- Bapak yang menjadi beban bagi anak-anak.
Dan kemdian suatu hari.....kita mendapat berita ibu meninggal, kabar itu mengejutkan....dalam linangan air mata, segala perbuatan terhadap ibu muncul dalam ingatan satu persatu.....
Saat di taman kanak-kanak, ibu mengantar hingga masuk kelas, harus menunggu duduk di seberang sana. Aku tak perduli setumpuk pekerjaanya di rumah, kantuk yang menderanya,terik, hujan,atau rasa jenuh dan bosanya menunggu. Aku senang ia menungguiku, sampai bel bunyi, dan itu harus.
Setelah besar, aku sering meninggalkanya bermain bersama teman-teman dan bepergian. Tak pernah aku menugguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku atau di saat tubuhnya melemah.
Ketika remaja, aku sering merasa malu berjalan denganya. Pakaian dan dandananya ku anggap kuno tak serasi dengan penampilanku. Bahkan sering kali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu dua meter di depanya, agar orang tak menyangka aku bersamanya.
Padahal mengurusiku sejak kecil, ibu tak pernah memikirkan penampilannya, tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semuanya untuk mebelikanku pakaian yang bagus-bagus. ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh lukaku dan mendekapku saat aku menangis.
Mulai masuk di perguruan tinggi, aku semakin jauh denganya, aku yang pintar seringkali menganggap ibu sebagai orang yang bodoh, tak berwawasan , tak mengerti apa-apa dan bukan orang berpendidikan; Doa di setiap sujudnya, pengorbanannya dan cintanya tak pernah berhenti sedikitpun.
Semua ingatan itu muncul satu persatu tiada habisny. Dalam genangan air mata yang sudah terlambat, terus menerus mengalirkan kedukaan dan penyesalan.

Dan kamu sekarang, ingatlah ibumu masih disampingmu...... jangan sepertiku dulu. Memilih untuk memberikan perhatian padanya nanti, saat semua sudah terlambat. Waspadalah!! Jangan seperti aku. 

(diambil dari : Buletin DIALOG edisi XVII sya’ban 1426 H, Oktober 2005 M)

0 Comments:

Post a Comment